Oleh: H Syahrir Nasution SE MMSumatera Utara adalah provinsi yang kaya raya. Potensi sumber daya alamnya membentang dari pantai timur hingga pantai barat, ditambah sumber daya manusia yang melimpah dan letak geografis yang strategis. Semua ini semestinya menjadi modal besar bagi Sumut untuk berdiri tegak secara
ekonomi. Namun, realitas yang dirasakan rakyat di lapisan akar rumput justru berbanding terbalik: kemiskinan masih nyata, pembangunan masih bergantung pada dana transfer dari pusat, dan Sumut seperti menjadi "pengemis" atas hasil bumi yang sejatinya berasal dari tanahnya sendiri.Mengapa ini terjadi? Pertanyaan besar ini seharusnya menggugah kesadaran kolektif kita. Selama ini, hasil kekayaan Sumut—baik dari perkebunan, tambang, panas bumi, hingga sektor energi—lebih banyak dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan besar yang bermarkas di luar daerah. Ironisnya, mereka menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Jakarta atau daerah lain, sehingga pajak yang semestinya masuk ke kas Sumut malah mengalir ke pusat atau provinsi lain. Akibatnya, rakyat Sumut hanya mendapat sisa "jatah" berupa Dana Bagi Hasil (DBH), yang hakikatnya hanyalah uang rakyat Sumut yang diambil lebih dulu baru kemudian dibagikan kembali.Kondisi ini bukan sekadar soal teknis anggaran. Ini sudah menyentuh hal yang lebih mendasar:
kedaulatan fiskal daerah. Otonomi daerah seolah hanya berlaku untuk urusan kecil, sementara sektor-sektor strategis yang mendatangkan keuntungan besar tetap dikendalikan pusat. Bukankah ini sebuah kontradiksi? Jika demokrasi
ekonomi benar-benar dijalankan, daerah penghasil seharusnya memiliki hak penuh untuk mengelola dan menikmati hasil kekayaannya.
Lebih parah lagi, data kemiskinan yang ditampilkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sering kali tidak sesuai dengan realitas. Secara statistik, kemiskinan disebut menurun, tetapi di lapangan daya beli rakyat justru rendah dan makin terpuruk. Ini hanyalah manipulasi angka demi menjaga citra pemerintah, sementara penderitaan rakyat tetap tak tersentuh.Maka dari itu, salah satu langkah strategis dan berani yang harus segera diambil adalah: Mewajibkan setiap perusahaan yang beroperasi di Sumut memiliki NPWP lokal. Kebijakan ini tidak anti-investasi, justru sebaliknya: inilah bentuk keberanian menegakkan
kedaulatan fiskal dan menciptakan ekosistem
ekonomi yang sehat dan bermartabat.Pemerintah Provinsi Sumut bersama DPRD memiliki kewenangan untuk mewujudkan ini, misalnya melalui Peraturan Gubernur (Pergub) yang mensyaratkan NPWP lokal dalam setiap izin usaha dan proses lelang proyek daerah. Dengan begitu, pendapatan pajak akan masuk langsung ke kas Sumut dan digunakan untuk pembangunan yang lebih nyata bagi kesejahteraan rakyat.Momen peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia semestinya menjadi refleksi. Apa arti "Indonesia Maju" jika daerah-daerah penghasil seperti Sumut tetap tidak berdaulat secara fiskal? Apa arti kemerdekaan jika rakyat masih miskin di tengah limpahan kekayaan alam?
Baca Juga:
Kedaulatan fiskal adalah bagian dari
kedaulatan bangsa. Jika Sumut ingin rakyatnya sejahtera, maka mengembalikan hak fiskal ke daerah adalah jalan yang tidak bisa ditawar lagi. Saatnya pemerintah dan wakil rakyat Sumut mengambil sikap berani—bukan demi kepentingan kelompok, tetapi demi martabat dan masa depan anak negeri.Managing Director : POLITICAL & ECONOMIC CONSULTING INSTITUTE - Indonesia (PECI - INDONESIA)