Oleh: H Syahrir Nasution
Managing Director PECI Indonesia
Presiden Joko Widodo sebelum mengakhiri masa jabatannya telah mengeluarkan izin ekspor pasir laut. Kebijakan ini patut dipertanyakan, mengingat dampaknya yang serius terhadap kelestarian lingkungan dan keberlanjutan ekosistem laut Indonesia. Demi masa depan bangsa, izin ini seharusnya segera dicabut.
Namun, perhatian publik hari-hari ini tertuju pada persoalan lain yang tak kalah penting, yakni
kemelut status Empat Pulau yang berada di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.
Situasi memanas sejak Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution melakukan kunjungan ke Banda Aceh dan bertemu Gubernur Aceh Muzakkir Manaf (Muallem). Kunjungan itu disebut sebagai silaturahmi, namun tersirat adanya pembicaraan mengenai pengelolaan bersama atas ke
empat pulau tersebut. Hal ini muncul setelah adanya keputusan Menteri Dalam Negeri yang secara sepihak memindahkan wilayah
pulau-
pulau itu ke Provinsi Sumatera Utara.
Di sinilah persoalan krusial muncul: dalam ilmu administrasi pemerintahan, tidak dikenal istilah "pengelolaan bersama" atas wilayah administratif. Sebuah wilayah harus jelas dan tegas masuk ke dalam satu provinsi, sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara legal dan historis, ke
empat pulau tersebut adalah bagian sah dari Provinsi Aceh. Ini dibuktikan melalui:
Kesepakatan antara Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Aceh pada 10 September 1988 serta 22 April 1992.
Kesepakatan ini ditandatangani oleh Gubernur Sumatera Utara Radja Inal Siregar dan Gubernur Aceh Prof. Dr. Ibrahim Hasan, serta disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri Rudini.
Selain itu, masih ada dokumen yang lebih lama lagi, bahkan sejak 1965, yang memperkuat klaim Aceh atas ke
empat pulau tersebut.
Langkah Mendagri yang memindahkan wilayah secara administratif tanpa dasar hukum yang kokoh adalah bentuk pengabaian terhadap sejarah dan legalitas yang telah disepakati sebelumnya. Jika dibiarkan, ini bukan hanya soal peta wilayah, tapi menyangkut harga diri dan stabilitas sosial di daerah.
Oleh karena itu, Gubernur Aceh Bung Muzakkir Manaf (Muallem) harus bersikap tegas, dengan dukungan seluruh rakyat Aceh, menolak keputusan tersebut demi menjaga marwah, martabat, dan ketenteraman masyarakat Aceh, khususnya di Aceh Singkil.
Sementara itu, kepada Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, penting untuk terlebih dahulu memahami dan menghargai sejarah sebelum melangkah lebih jauh. Jangan sampai ambisi sesaat menimbulkan polemik yang mempermalukan Sumatera Utara sendiri di mata publik nasional. Para gubernur sebelumnya tidak pernah menempuh jalur kontroversial seperti ini, apalagi tanpa dasar sejarah yang sah.
Sebagaimana pepatah Minangkabau mengingatkan:
> "Jangan hanya lihat yang tasurek, lihat juga yang tasirek. Jika tidak, engkau akan menjadi tasuruak."
(Lihatlah yang tampak dan yang tersembunyi; agar tidak menjadi korban kebodohan sendiri.)***