Rabu, 03 Desember 2025

Banjir Bukan Takdir, Ini Kejahatan Pembalakan Liar”: Dr. Yuspar tegaskan Kritik Soal Kerusakan Hutan

Administrator
Selasa, 02 Desember 2025 10:59 WIB
Banjir Bukan Takdir, Ini Kejahatan Pembalakan Liar”: Dr. Yuspar tegaskan Kritik Soal Kerusakan Hutan
Istimewa
MEDAN — Bencana banjir bandang yang melanda Sumatera Barat dan Sibolga, Sumatera Utara, kembali membuka luka lama: perusakan hutan yang tak pernah berhenti. Namun kritik paling tajam datang dari seorang tokoh yang sudah kenyang dengan penegakan hukum korupsi dan HAM berat: Dr. Yuspar, SH., M.Hum, mantan Direktur HAM Berat Kejaksaan Agung RI, yang kini berprofesi sebagai advokat dan dikenal luas dalam pemberantasan kasus korupsi di Surabaya, Palembang, Medan, dan Sumatera Barat.

Nama Dr. Yuspar bukan sosok baru dalam dunia penegakan hukum. Semasa aktif di Kejaksaan, mayoritas masa dinasnya berada di Pidana Khusus (Pidsus) sehingga puluhan perkara korupsi berhasil ia berantas, termasuk kasus-kasus yang merugikan negara di Sumbar saat menjabat sebagai Kajari Mentawai pada tahun 2004.

Di sana, ia pernah menangani kasus illegal logging yang saat itu oleh sebagian hakim dikategorikan sebagai perkara pidana umum di bawah PP 41. Namun Yuspar menegaskan: kerusakan hutan dengan kerugian negara seharusnya dapat dijerat sebagai tindak pidana korupsi, dan pandangan itu kini menjadi semakin relevan.

Banjir Bandang: Bukan Galodo, Tapi Kayu-kayu Besar yang Terbongkar

Menurut analisis Dr. Yuspar terhadap banjir yang baru terjadi, indikasi penyebab utamanya bukan sekadar cuaca ekstrem seperti diprediksi BMKG.

"Lihat material banjirnya. Itu bukan batu. Itu kayu-kayu besar hasil tebangan. Banjir membawa bukti kejahatan ke hadapan masyarakat," ujarnya.

Ia mengungkap bahwa setelah air surut, potongan kayu besar masih terhampar di sungai-sungai. Melalui citra peta dan pengamatan lapangan, terlihat jelas area hutan yang sudah gundul "seperti lapangan bola", bahkan lebih luas, akibat pembalakan liar yang berlangsung bertahun-tahun.

"Erosi tanah, sedimentasi, air keruh seperti lumpur di rumah warga hingga lebih dari seminggu, bahkan layanan publik lumpuh — ini semua akibat pohon ditebang dan siklus air hancur."

Baca Juga:
Yuspar menyebut kerusakan ini bukan sekadar ekologis, tapi pelanggaran HAM lingkungan yang merampas hak rakyat atas hidup aman.

Kasus Mentawai 2004 Kembali Menjadi Cermin

Yuspar menyinggung kembali pengalamannya saat menangani kasus illegal logging di Mentawai. Kala itu, izin diberikan untuk wilayah tertentu, tetapi pembabatan dilakukan di area berbeda — pola klasik yang hingga kini masih terjadi.

"Saya lihat sendiri bagaimana izin dipakai untuk 'melegalkan' pembalakan di tempat lain. Ini bukan modus baru. Ini modus yang masih dipakai sampai hari ini," katanya.

Ia menegaskan bahwa banyak izin kehutanan yang patut diduga disalahgunakan.

"Semua izin harus didata ulang. Tidak boleh ada izin 'berboncengan' yang dipakai untuk melindungi kejahatan."

Desakan Keras pada Penegak Hukum: Jangan Lagi Sembunyikan Mafia Kayu di Balik PP 41

Menurut Yuspar, penggunaan PP 41 sering dijadikan tameng agar pelaku pembalakan liar hanya dijerat pidana umum, bukan korupsi.

Baca Juga:
"Sudah cukup. Jangan melindungi pembalak liar dengan PP 41. Kalau ada kerugian negara, kalau ada praktik izin yang diselewengkan, jadikan itu tindak pidana korupsi. Titik."

Ia mendesak Polda, Kejaksaan Tinggi, dan KLHK melakukan penyidikan terpadu.

"Kalau perlu, tangkap juga backing-nya. Negara jangan kalah oleh mafia kayu."

Kerusakan Bukan Lagi Masalah Lingkungan — Ini Soal Rakyat yang Menderita

Yuspar menegaskan bahwa akibat banjir bandang bukan hanya rumah yang tergerus, tetapi juga hidup masyarakat yang runtuh:

air bersih hilang lebih dari satu minggu, ekonomi macet, pelayanan publik kolaps, bahkan bandara terdampak air keruh seperti tanah.

"Ada yang kehilangan rumah, ada yang kehilangan keluarga. Ini bukan main-main. Ini kejahatan terhadap rakyat," tegasnya.

Peringatan Keras: Negara Tidak Boleh Tunduk pada Para Perusak

"Kalau daerah tidak berani, biar pemerintah pusat turun tangan. Tidak ada lagi ruang tawar-menawar. Tidak ada lagi zaman backing-backing."

Di akhir pernyataannya, Yuspar melontarkan kalimat yang kini viral:

> "Banjir bukan takdir. Ini kejahatan. Dan setiap kejahatan harus punya tersangka."

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Administrator
Sumber
:
SHARE:
Tags
Berita Terkait
Bencana Banjir Deli Serdang, 16 Orang Meninggal Dunia

Bencana Banjir Deli Serdang, 16 Orang Meninggal Dunia

Dear Pemerintah Pusat, Jangan Biarkan Sumut Sendirian Menangani Bencana Ini

Dear Pemerintah Pusat, Jangan Biarkan Sumut Sendirian Menangani Bencana Ini

Kecam Politisasi Bencana, Jaga Marwah Serukan Solidaritas untuk Korban di Sumut, Aceh & Sumbar

Kecam Politisasi Bencana, Jaga Marwah Serukan Solidaritas untuk Korban di Sumut, Aceh & Sumbar

Bencana Tapanuli: WALHI Soroti Tujuh Perusahaan Pemicu Kerusakan, BNPB Pastikan 116 Korban Jiwa

Bencana Tapanuli: WALHI Soroti Tujuh Perusahaan Pemicu Kerusakan, BNPB Pastikan 116 Korban Jiwa

Banjir Bukan Murka Alam — Ini Kejahatan Tata Ruang, Konspirasi Oligarki, dan Pembiaran Negara

Banjir Bukan Murka Alam — Ini Kejahatan Tata Ruang, Konspirasi Oligarki, dan Pembiaran Negara

Bencana Alam di Sumut 24 Meninggal Dunia, 5 Dalam Pencarian

Bencana Alam di Sumut 24 Meninggal Dunia, 5 Dalam Pencarian

Komentar
Berita Terbaru