Oleh: H Syahrir Nasution SE MMDalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kejujuran seharusnya menjadi fondasi moral yang tidak bisa ditawar. Namun, realitas hari ini menunjukkan hal yang sebaliknya — di banyak tempat, kejujuran justru dianggap ancaman. Orang yang berani berkata benar sering kali dicap pembuat gaduh, sementara mereka yang pandai bersandiwara justru dipuji sebagai "bijak". Inilah gejala bangsa yang mulai kehilangan
akal sehatnya."Takut miskin tapi tak pernah kaya," begitu sindiran tajam orang bijak yang menggambarkan ketakutan manusia modern. Banyak yang rela menggadaikan integritas demi kenikmatan sesaat, padahal ketenangan sejati lahir dari hati yang jujur dan pikiran yang bersih. Ketakutan akan kekurangan membuat manusia kehilangan arah dan melupakan nilai dasar: Tell the truth and be honest — katakan yang benar dan hiduplah dengan kejujuran.Bangsa yang besar tidak diukur dari gedung megah atau jalan mulus, tetapi dari keberanian rakyatnya berkata benar. Orang tua dahulu sudah menanamkan nilai sederhana namun mendalam: "Jangan curang, meski kesempatan ada." Karena mereka tahu, dunia ini hanyalah sementara, dan kejujuran adalah bekal terbaik menghadapi kehidupan yang fana.
Kini, yang menjadi ironi, ketika seseorang berbuat benar, ia justru disalahkan. Ketika ada yang berani bersuara, ia dianggap pengganggu stabilitas. Padahal, justru dari suara-suara jujur itulah bangsa bisa diselamatkan dari kehancuran moral.Jika kejujuran dianggap kejahatan, maka sesungguhnya kita sedang hidup di zaman yang salah arah. Saatnya bangsa ini kembali menata nurani — menghargai orang yang jujur, bukan membungkamnya. Karena tanpa kejujuran,
akal sehat akan mati, dan bangsa ini akan kehilangan jiwanya.***
Baca Juga:
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di
Google News