DELI SERDANG — Sebuah gudang besar di Jalan Jatirejo, Desa Sampali, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, saban hari ramai oleh lalu-lalang truk tangki. Dari kejauhan, warnanya khas: biru dan putih, mirip armada milik PT Mulia Jaya Global Indo. Di balik pagar tinggi, aroma menyengat
solar tercium.Bagi warga sekitar, pemandangan itu bukan hal baru. "Setiap hari ada aktivitas bongkar-muat BBM. Semua orang tahu, itu gudang Willy," kata Eka Purnama, 36 tahun, warga Percut Sei Tuan, Jumat, 29 Agustus 2025. Nama Willy, pria keturunan Tionghoa, sejak lama disebut sebagai pemilik gudang penimbunan dan pengolahan BBM bersubsidi di kawasan tersebut.Meski berulang kali jadi sorotan media, usaha ilegal itu tetap berdetak. "Seperti kebal hukum," ujar Eka.
---Gudang Rahasia yang Terang BenderangPantauan lapangan Tempo menemukan pola yang sama: mobil tangki masuk sore hari, keluar menjelang malam. Di dalam, pekerja sibuk memindahkan
solar subsidi dari tangki Pertamina ke wadah-wadah besar. Dari sana, bahan bakar dijual kembali ke pembeli industri dengan harga lebih tinggi.Warga meyakini gudang Willy bukan sekadar tempat simpan, tapi juga pusat distribusi BBM ilegal. Kapasitasnya ditaksir puluhan ribu liter per hari. "Mereka bisa operasi tiga kali bongkar dalam sehari," kata seorang sopir truk yang enggan disebutkan namanya.
Baca Juga:
---Bisnis Ilegal, Uang SahInformasi yang dihimpun Tempo menyebut sindikat mafia BBM kerap menjalankan usaha "sampingan" berbentuk bisnis sah. Usaha itu menjadi kedok untuk mencuci keuntungan dari
solar subsidi.
Praktik ini jamak di dunia gelap energi. BBM subsidi yang semestinya diperuntukkan bagi nelayan dan masyarakat kecil, dialirkan ke sektor industri yang tidak berhak. Selisih harga per liter — antara subsidi Rp6.800 dan non-subsidi Rp15 ribu — menjadi lahan basah."Keuntungan per truk bisa ratusan juta. Uang itu kemudian masuk ke bisnis legal agar tampak bersih," ujar seorang pejabat Pertamina yang enggan disebut namanya.---
Baca Juga:
Warga Hidup di Bawah AncamanDi luar kerugian negara, dampak sosial langsung menghantui warga Sampali. Gudang penimbunan
solar berdiri di kawasan padat penduduk. Sisa tumpahan BBM merembes ke tanah, mencemari lingkungan."Kalau terjadi kebakaran, bisa habis satu kampung," kata Eka. Warga mendesak pemerintah dan aparat bertindak cepat. "Jangan tunggu ada korban dulu."
---Diamnya AparatKecurigaan publik menguat: mengapa aparat penegak hukum di Sumut tidak bertindak? Laporan dan pemberitaan sudah berkali-kali muncul, namun gudang Willy tetap beroperasi.Tempo mencoba mengonfirmasi hal ini kepada Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumut, Kombes Pol Rudi Rifani. Pesan singkat yang dikirim Jumat, 29 Agustus 2025, hanya dibaca, tak berbalas.
Sumber internal kepolisian menyebut, operasi semacam ini kerap melibatkan "bekingan" dari oknum aparat. "Kalau tidak ada yang melindungi, mana mungkin bisa berjalan terang-terangan," kata sumber itu.---Pertaruhan Energi Negara
Aktivitas mafia
solar bukan perkara sepele. Indonesia setiap tahun mengalokasikan lebih dari Rp400 triliun untuk subsidi energi. Kebocoran di jalur distribusi menambah beban keuangan negara dan memicu kelangkaan di lapangan.Di Sumatera Utara, jaringan mafia BBM kerap disebut sebagai salah satu yang terkuat dan paling terorganisir. Gudang di Jatirejo Sampali, menurut sejumlah pengamat energi, hanyalah "salah satu mata rantai" dari bisnis gelap yang lebih luas.---
Desakan PublikKini, desakan warga Sampali menggema: pemerintah, Pertamina, BAIS, hingga Polda Sumut dituntut turun tangan. Mereka diminta mengungkap jaringan mafia
solar yang diduga sudah lama bercokol di Jatirejo.Sampai berita ini diturunkan, belum ada langkah konkret dari aparat. Truk-truk tangki masih lalu-lalang, dan gudang Willy tetap bekerja seperti biasa.Bagi warga, kawasan Sampali kian pantas dijuluki: "Wilayah Hukum
Mafia BBM."tim