Oleh: Marwan Ashari Harahap(Aktivis Lingkungan Hidup Yayasan Hayati Indonesia)Kota Medan tumbuh sebagai pusat perdagangan, jasa, dan industri. Namun di balik gemerlap itu, ada satu fakta yang sering diabaikan: hampir seluruh keberlangsungan ekologis Medan bertumpu pada Deli Serdang. Kabupaten tetangga ini ibarat "bumper zone"—daerah penyangga yang menahan guncangan sekaligus menyelamatkan Kota Medan dari berbagai risiko lingkungan.Deli Serdang masih memiliki hutan lebat di kawasan Sibolangit, Kutalimbaru, Namorambe, Biru-biru, STM Hulu, hingga STM Hilir. Sementara Kota Medan tak lagi memiliki cadangan ekologis sebesar itu. Karena itulah, wajar jika disebut bahwa Medan hidup dari nafas lingkungan yang dijaga Deli Serdang.
Lebih jauh, hampir 100 persen kebutuhan air minum Kota Medan bersumber dari Deli Serdang. Enam unit instalasi pengolahan air milik PDAM Tirtanadi menggantungkan pasokannya dari kabupaten ini. Tanpa air dari Deli Serdang, mustahil Medan dapat menghidupi lebih dari dua juta penduduknya.Bukan hanya air. Deli Serdang juga menyerap emisi karbon dan polusi udara yang sebagian besar dihasilkan dari aktivitas industri dan kendaraan bermotor di Medan. Dengan kata lain, kabupaten ini menanggung beban ekologis demi kenyamanan kota besar di sekitarnya.Namun, jasa lingkungan itu tidak datang tanpa harga. Pengambilan air tanah dan air permukaan secara besar-besaran di Deli Serdang telah menimbulkan penurunan muka air tanah, erosi, dan longsor—seperti yang kerap terjadi di Pancur Batu dan Sibolangit. Jika dibiarkan, intrusi air laut dan kerusakan ekosistem pertanian pun akan menyusul.Di sisi lain, kesenjangan ekonomi antara Medan dan Deli Serdang begitu nyata. Pendapatan per kapita, laju investasi, hingga kemajuan infrastruktur jelas lebih tinggi di Medan. Tetapi justru di balik kemajuan itu, Kota Medan berutang budi pada Deli Serdang yang selama ini menjadi benteng ekologinya.
Baca Juga:
Karena itu, sudah saatnya Kota Medan memberikan kompensasi nyata kepada Deli Serdang—bukan sekadar pengakuan simbolis. Bentuknya bisa berupa dukungan dana pembinaan lingkungan, program rehabilitasi hutan, pengelolaan sumber daya air berkelanjutan, atau skema tanggung jawab sosial kota metropolitan terhadap kawasan penyangga di sekitarnya.Pertanyaannya, sejauh mana Medan mau dan mampu menunaikan tanggung jawab ini? Sampai kapan Deli Serdang harus terus menanggung dampak lingkungan tanpa "mahar" sedikit pun?Tulisan ini bukan untuk mengadu-domba, melainkan sebagai ajakan untuk melihat persoalan secara jernih dan proporsional. Lingkungan hidup bukan hanya soal eksploitasi, tetapi juga tanggung jawab. Dan tanggung jawab itu harus dibagi secara adil.Wallahu a'lam.
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di
Google News