JAKARTA —
Jaksa Agung Republik Indonesia, Prof. Dr. ST Burhanuddin, S.H., M.M., menekankan pentingnya penerapan pendekatan Follow The Asset dan Follow The Money melalui mekanisme Deferred Prosecution Agreement (DPA) atau kesepakatan penundaan penuntutan dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.Hal itu disampaikan dalam keynote speech pada Seminar Nasional bertema "Optimalisasi Pendekatan Follow The Asset dan Follow The Money melalui Deferred Prosecution Agreement dalam Penanganan Perkara Pidana" di Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta, Kamis (21/8/2025). Kegiatan ini digelar secara luring dan daring sebagai bagian dari peringatan Hari Lahir Kejaksaan RI ke-80.Menurut Burhanuddin, penerapan DPA yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP merupakan salah satu bentuk pembaruan hukum pidana nasional. Mekanisme ini, katanya, diyakini mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum, khususnya perkara pidana korporasi, dengan tetap menjunjung asas kepastian hukum, proporsionalitas, dan kemanfaatan.> "Penegakan hukum pidana bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. DPA harus dilaksanakan secara akuntabel, transparan, dan berlandaskan pendekatan restoratif, korektif, serta rehabilitatif," ujar Burhanuddin.
Ia menjelaskan, DPA lazim diterapkan di negara dengan sistem common law untuk memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana korporasi. Di Indonesia, mekanisme serupa dinilai relevan untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian negara sekaligus mencegah pemborosan anggaran dalam proses penegakan hukum.Dalam forum ilmiah itu,
Jaksa Agung juga menyoroti sejumlah isu strategis yang perlu menjadi kajian lebih lanjut. Di antaranya, penetapan korporasi sebagai subjek delik yang dapat dikenakan DPA, jenis tindak pidana yang relevan, peran lembaga peradilan dalam mengesahkan kesepakatan, serta mitigasi potensi penyalahgunaan dan mekanisme pengawasannya.Lebih jauh, Burhanuddin menekankan bahwa pembaruan hukum acara pidana melalui DPA bukanlah bentuk pelemahan hukum, melainkan penguatan fungsi hukum sebagai instrumen pemulihan dan pembangunan budaya hukum yang lebih sehat.
Baca Juga:
> "Ini momentum penting dalam sejarah reformasi peradilan pidana Indonesia. Penegakan hukum bukan hanya menghukum, tetapi juga memulihkan, memperbaiki, dan membangun kepercayaan publik terhadap hukum," katanya.Seminar ini turut menghadirkan Wakil Menteri Hukum Prof. Dr. Eddy Omar Sharif Hiariej, Plt. Wakil
Jaksa Agung Prof. Dr. Asep N. Mulyana, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Dr. Prim Haryadi, Ketua Pembina Yayasan Pesantren Islam Al Azhar Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, serta akademisi hukum Prof. Dr. Suparji Ahmad. Sejumlah praktisi hukum, tokoh nasional, dan perwakilan masyarakat sipil juga hadir.rel