Medan -Menyikapi wacana dan desakan sejumlah pihak terkait pemberian
amnesti atau abolisikepadaHasto KristiyantodanTommy Limbong, Advokat dan Praktisi Hukum,Joni Sandri Ritonga, S.H., M.H., menegaskan bahwahukum tidak boleh tunduk pada tekanan politik atau opini publik yang mengaburkan substansi keadilan.Menurut Joni, pemberian
amnesti maupun abolisi merupakanhak prerogatif Presidenyang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, namunbukan berarti dapat digunakan secara semena-menauntuk menyelamatkan pihak-pihak tertentu dari proses hukum yang sedang berjalan. "Kita harus bedakan antara upaya hukum, proses pembelaan, dan intervensi kekuasaan. Jika Hasto dan Tom Limbong tidak terbukti bersalah, maka pengadilanlah yang harus menyatakan bebas, bukan Presiden melalui
amnesti atau abolisi," tegas Joni.Ia menambahkan bahwa
amnesti bersifat kolektifdan umumnya diberikan dalam konteks politik negara, seperti konflik bersenjata atau perbedaan ideologi, sementaraabolisi diberikan sebelum proses hukum selesai, dengan pertimbangan tertentu yang sangat ketat.
"Kalau ini digunakan hanya karena kedekatan kekuasaan atau tekanan politik, maka ini bisa menjadi preseden buruk dalam sistem hukum kita," jelasnya.Joni juga mengingatkan bahwa pemberian abolisi atau
amnesti terhadap seseorang yang sedang berperkara pidanaberpotensi merusak kepercayaan publik terhadap penegakan hukum, dan bahkan bisa ditafsirkan sebagai bentukintervensi terhadap kekuasaan kehakiman. "Penegakan hukum harus adil, objektif, dan tidak boleh tunduk pada agenda politik jangka pendek," ujarnya.Sebagai Advokat, Joni menegaskan bahwa dirinya mendukung penuhproses hukum yang fair dan transparan, termasuk pembelaan terhadap hak-hak terdakwa. Namun ia juga mengingatkan bahwapembelaan hukum harus dilakukan di dalam ruang peradilan, bukan melalui pintu belakang kekuasaan.
Baca Juga:
"Jangan jadikan
amnesti dan abolisi sebagai alat untuk mengaburkan kebenaran. Negara hukum harus menempatkan semua warga negara setara di hadapan hukum,"tutupnya.rel