Medan – Istilah "
anak jalanan" yang selama ini digunakan dalam dokumen resmi pemerintahan dan kebijakan sosial mendapat sorotan tajam dari akademisi. Shohibul Anshor Siregar, dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), menilai bahwa penggunaan nomenklatur tersebut adalah bentuk pembiaran negara yang telah dilembagakan secara sistematis."Secara sepintas istilah ini memang terdengar netral, bahkan dianggap memudahkan klasifikasi kebijakan. Namun bila ditelaah secara lebih kritis, ini adalah bentuk dari permissiveness—pembiaran yang dilembagakan oleh negara," ujar Siregar kepada media ini.Menurutnya, istilah "
anak jalanan" secara tidak langsung melegitimasi keberadaan
anak di ruang yang seharusnya tidak mereka huni:
jalanan. Padahal dari sudut pandang konstitusi maupun konvensi internasional, tidak ada justifikasi normatif yang bisa membenarkan seorang
anak hidup dan mencari nafkah di jalan."Jalan bukan tempat tumbuh kembang
anak. Jalan bukan sekolah. Jalan bukan rumah. Jalan adalah ruang publik yang penuh risiko kekerasan, eksploitasi, kecelakaan, dan kriminalisasi," tegasnya.
Istilah yang Menjebak dalam Ketidakadilan StrukturalSiregar menambahkan, istilah ini membentuk konstruksi sosial yang menormalisasi ketimpangan. Ia menyebut penggunaan istilah ini sebagai bentuk language capture, yakni penyanderaan makna bahasa dalam kebijakan publik yang justru mengaburkan pelanggaran hak asasi."Dengan menyebut mereka sebagai '
anak jalanan', negara seperti menciptakan dikotomi semu antara '
anak yang wajar' dan '
anak jalanan'. Ini menyesatkan karena menyiratkan bahwa sebagian
anak memang 'ditakdirkan' untuk hidup di jalan, padahal itu adalah bentuk pengingkaran terhadap kewajiban negara," paparnya.
Baca Juga:
Lebih lanjut, ia menyoroti dampak struktural dari pelembagaan istilah tersebut. Menurutnya, program-program sosial yang menyasar kelompok ini cenderung bersifat manajerial dan ritualistik, bukan transformatif.Konstitusi Tak Memberi Ruang untuk PembiaranMengacu pada Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa "fakir miskin dan
anak-
anak terlantar dipelihara oleh negara", serta Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia, Siregar menegaskan bahwa negara seharusnya tidak mengakui keberadaan
anak-
anak di jalan tanpa orientasi penghapusan total atas kondisi tersebut.
"Negara tidak hanya tidak boleh membiarkan, tetapi wajib menghapuskan kondisi itu. Kita harus menyebut mereka dengan istilah yang benar: Anak yang Dilanggar Haknya. Itu adalah istilah yang mencerminkan keberpihakan dan tanggung jawab," katanya.Industri Sosial yang Tersandera NomenklaturTak hanya negara, ia juga mengkritik keberadaan lembaga swadaya masyarakat (LSM), program CSR korporasi, dan institusi lainnya yang dinilainya justru telah tersandera oleh nomenklatur tersebut.
Baca Juga:
"Anak
jalanan telah menjadi komoditas empati. Mereka dipindahkan dari proposal ke proposal, dari statistik ke laporan pertanggungjawaban, sementara kondisi struktural yang menyebabkan mereka tetap di jalan tidak pernah dibereskan," ungkapnya.Seruan Reformulasi KebijakanUntuk itu, Siregar menyerukan perlunya reformulasi radikal kebijakan sosial. Menurutnya, nomenklatur "
anak jalanan" harus dihapuskan dari seluruh perangkat kebijakan negara, dan digantikan dengan istilah serta pendekatan yang berorientasi pada pemulihan hak
anak.
Beberapa usulan program yang ia ajukan antara lain:(-) Pemulihan Hak Anak Korban Eksklusi Sosial(-) Pemulihan Anak dari Eksploitasi Ekonomi
(-) Reintegrasi Anak Korban Kekerasan Struktural"Sebagai bangsa yang mengaku berketuhanan dan berkemanusiaan, kita harus menempatkan negara bukan sebagai penonton pasif dari pelanggaran hak, melainkan pelindung aktif masa depan
anak-
anak," tandasnya.Ia menutup dengan pernyataan tegas: "Tidak ada istilah '
anak jalanan' dalam negara yang beradab. Yang ada hanyalah
anak-
anak yang dilalaikan oleh sistem yang tidak adil, dan negara yang gagal melindungi masa depan bangsanya sendiri."