Oleh: Sutrisno PangaribuanWarga Sumut, Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas)
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) kembali mengguncang Sumatera Utara. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Pemprov Sumut, Topan Obaja Putra Ginting (TOP), ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Kamis, 26 Juni 2025. Dua hari berselang, Sabtu (28/6), TOP resmi ditetapkan sebagai tersangka.TOP bukan sekadar pejabat teknis. Ia dikenal luas sebagai "anak emas" Gubernur Sumut Bobby Afif Nasution (BAN)—sosok yang dilantik pertama oleh Wakil Gubernur Surya pada Februari lalu. Kariernya yang moncer runtuh dalam sekejap, digantikan dengan borgol di tangan dan rompi oranye bertuliskan "Tahanan KPK".Namun, pernyataan mengejutkan datang dari BAN, yang memilih tidak memberi bantuan hukum kepada TOP. Ia bahkan menyamakan kasus tersebut dengan dua pejabat lain di lingkungan Pemprov Sumut—Ilyas Sitorus dan Zumri Sulthony—yang telah lebih dulu ditahan Kejaksaan.
Baca Juga:
Di tengah sorotan publik yang tajam terhadap praktik
korupsi di tubuh pemerintah provinsi, Pemprov Sumut justru menerbitkan Surat Edaran Nomor 200.1.2.2/5677/2025 tanggal 30 Juni 2025, yang mengimbau seluruh instansi pemerintah, swasta, dan organisasi kemasyarakatan untuk memperdengarkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan membaca teks Pancasila setiap hari kerja pukul 10.00 WIB.Surat edaran tersebut merujuk pada Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, yang menyatakan bahwa
lagu kebangsaan dapat dinyanyikan sebagai pernyataan rasa
kebangsaan. Kata kunci dalam ketentuan ini adalah "dapat", bukan "wajib".Manipulasi SimbolikMenghidupkan semangat nasionalisme memang penting. Namun, menyanyikan
lagu kebangsaan di tengah badai
korupsi terkesan manipulatif. Ketika "kadis utama" yang selama ini menjadi simbol kepercayaan gubernur justru tertangkap tangan karena dugaan
korupsi, imbauan bernuansa patriotik terasa seperti penutup luka yang belum disembuhkan.
Ironisnya,
lagu kebangsaan dan teks Pancasila yang selama ini rutin dilantunkan pada upacara-upacara resmi, tidak cukup kuat mencegah
korupsi. Para pelaku justru merupakan pejabat yang sering berdiri sebagai inspektur upacara, melafalkan janji, namun kemudian menyalahgunakan kekuasaan.Mengutip Pasal 59 ayat (1) UU 24/2009, kewajiban menyanyikan
lagu kebangsaan hanya berlaku pada momen-momen tertentu, seperti pengibaran bendera, kunjungan kenegaraan, hingga pembukaan sidang lembaga negara. Di luar itu, imbauan bersifat sukarela dan tidak mengikat secara hukum.Korupsi adalah Musuh NegaraKita perlu menyadari bahwa nasionalisme bukan sekadar simbolik. Rasa
kebangsaan tidak lahir dari
lagu atau teks yang diulang setiap hari, tetapi dari tindakan konkret yang menjunjung etika dan integritas. Korupsi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap negara dan rakyat. Ia terjadi secara sistematis, merampas hak-hak publik, dan melemahkan kepercayaan terhadap demokrasi.
Baca Juga:
Sumut saat ini tidak kekurangan nyanyian Indonesia Raya. Yang kita butuhkan adalah pejabat yang bersih, tidak korup, tidak menggunakan kekuasaan untuk menekan lawan politik, tidak mengiming-imingi jabatan atau sembako saat pemilu, dan tidak menyandera institusi hukum demi kepentingan kelompok.Refleksi dalam SunyiMungkin sudah saatnya para penyelenggara negara mendengarkan
lagu-
lagu perenungan seperti "Hari Kiamat" dari Black Brothers, "Tuhan" oleh Bimbo, atau "Tobat Maksiat" dari Wali, ketimbang mengandalkan simbol-simbol nasionalisme semata. Lagu-
lagu itu berbicara langsung ke hati nurani, tempat di mana rasa malu dan takut terhadap Tuhan seharusnya bersemayam.Menanamkan nasionalisme tidak bisa dipaksakan melalui surat edaran. Ia tumbuh dari kejujuran, pelayanan yang tulus, dan keberanian untuk menolak
korupsi, meski hanya dalam kesunyian hati.
Sumut tidak membutuhkan lebih banyak
lagu kebangsaan, melainkan lebih banyak pejabat yang berhati
kebangsaan.red