HALOMEDAN.COM _____
Negara Perlu Syahganda dan Jumhur: Figur Rakyat untuk Pemerintahan Baru
Oleh: Luhut Parlinggoman Siahaan, Advokat, Eks Ketua Posko Pengaduan Pelanggaran Pemilu TKN Fanta, Tim Pengacara Prabowo–Gibran di MK
PEMERINTAHAN baru Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka tengah menghadapi tantangan besar dalam menyusun pemerintahan yang bukan hanya kuat secara politik, tetapi juga berpihak pada rakyat. Dalam konteks ini, muncul dua nama yang patut dipertimbangkan untuk masuk dalam struktur kekuasaan atau lingkaran strategis pemerintahan: Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat.
Keduanya bukanlah tokoh baru di tengah publik. Justru, mereka adalah figur yang sudah sejak lama berkiprah dan menunjukkan keberpihakan terhadap kaum tertindas, kelas pekerja, dan rakyat jelata. Dengan rekam jejak panjang, dedikasi tinggi, serta konsistensi narasi kerakyatan, Syahganda dan Jumhur merupakan wajah alternatif dari aktivisme yang bernyali dan bernalar.
Syahganda Nainggolan: Pemikir Kiri, Aktivis Jalanan, dan Intelektual Organik
Syahganda Nainggolan dikenal luas sebagai aktivis pergerakan mahasiswa era 1980-an yang ikut menentang otoritarianisme Orde Baru. Ia adalah pendiri Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan pernah menjadi salah satu motor gerakan moral anti-korupsi pasca-reformasi. Ia juga merupakan alumni Institut Teknologi Bandung (ITB), serta pernah mengambil program doktor di UI dan program post-doctoral di Jepang.
Syahganda konsisten berada di jalur advokasi sosial, demokrasi, dan keadilan ekonomi. Ia dikenal karena keberaniannya menyuarakan pandangan kritis terhadap kekuasaan, baik melalui media, demonstrasi, maupun kajian akademik. Ia juga menjadi pendiri dan Ketua Sabang Merauke Circle, sebuah lembaga kajian kebangsaan yang aktif memberikan kritik terhadap kebijakan ekonomi dan demokrasi yang tidak berpihak pada rakyat.
Pada 3 Juni 2025, Syahganda meluncurkan GREAT Institute (Global Research on Economics, Advance Technology and Politics) sebagai bentuk konsolidasi intelektual yang menggabungkan teknologi, riset ekonomi, dan politik kerakyatan. Dalam peluncuran itu, hadir pula pejabat negara, termasuk Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya, yang menyambut baik lembaga tersebut sebagai bagian dari "ikhtiar membangun basis kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial."
Jumhur Hidayat: Dari Buruh, Oleh Buruh, untuk Buruh
Nama Jumhur Hidayat dikenal luas dalam dunia perburuhan Indonesia. Ia adalah mantan Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dan pernah menjabat sebagai Kepala BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia). Sebagai aktivis, Jumhur punya sejarah panjang dalam membela hak-hak pekerja, dari buruh pabrik di Karawang hingga TKI di luar negeri.
Jumhur pernah menjadi salah satu tokoh kunci dalam gerakan Reformasi 1998, serta pernah ditahan di masa Orde Baru karena aktivitas politiknya yang menentang rezim. Di era pemerintahan SBY, ia dikenal sebagai pejabat yang tetap berpihak pada buruh, meskipun berada di dalam sistem. Ia bahkan mundur dari jabatannya ketika tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah waktu itu.
Terbaru, pada 2 Juni 2025, Jumhur mewakili pekerja Indonesia dalam Konferensi Perburuhan Internasional (ILO ke-113) di Jenewa. Dalam pidatonya, ia menegaskan perlunya ratifikasi Konvensi ILO No. 188 tentang perlindungan nelayan dan pekerja sektor perikanan, serta menyoroti kerentanan pekerja digital yang belum terlindungi hukum. Sikap dan pidatonya menuai respons positif dari banyak delegasi dunia, dan menjadikan Indonesia diperhitungkan dalam isu ketenagakerjaan global.
Figur yang Dibutuhkan Pemerintahan Prabowo–Gibran
Baik Syahganda maupun Jumhur memiliki kapasitas strategis yang langka di republik ini. Keduanya memiliki kematangan ideologi, pengalaman lapangan, dan keberanian moral. Jika Syahganda cocok menempati posisi strategis dalam bidang kajian kebijakan, transformasi politik, atau ketahanan ideologi, maka Jumhur layak berada di posisi yang menyangkut buruh, migrasi tenaga kerja, atau pengembangan sumber daya manusia berbasis keadilan.
Memberikan peran formal kepada keduanya bukan hanya pilihan politik yang cerdas, tetapi juga langkah simbolik untuk menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo–Gibran benar-benar membuka ruang bagi rakyat yang sesungguhnya.
Kabinet tidak harus hanya diisi oleh elite partai atau profesional teknokrat. Dalam fase transformasi nasional, kita butuh tokoh yang punya akar sosial, bukan hanya karier politik. Syahganda dan Jumhur adalah dua wajah dari rakyat yang mampu menjadi penggerak dalam tubuh kekuasaan. REL