Medan—
Praktisi hukum pidana dan agraria, Joni Sandri Ritonga, S.H., M.H., mengungkapkan keprihatinannya terhadap maraknya penyimpangan yang dilakukan perusahaan perkebunan dalam program kemitraan
plasma di Sumatera Utara. Ia menyebut praktik-praktik tersebut sebagai bentuk kejahatan korporasi yang telah merugikan ribuan petani di wilayah tersebut.
"Banyak perusahaan memanfaatkan program
plasma hanya sebagai formalitas untuk memenuhi persyaratan Hak Guna Usaha (HGU), tapi secara substantif mereka tidak pernah membangun kebun
plasma sesuai yang dijanjikan," ujar Joni saat diwawancarai di Medan, Sabtu (3/5/2025).
Menurutnya, penyimpangan tersebut mencakup berbagai bentuk kejahatan, seperti penggelapan dana, pemalsuan dokumen, penyerobotan lahan, dan penipuan dalam pembagian hasil. Ia menambahkan bahwa modus-modus ini sering kali dilakukan secara sistematis dan melibatkan oknum pejabat daerah.
"Perusahaan bisa dikenakan pasal-pasal pidana umum dalam KUHP seperti Pasal 372 tentang penggelapan, Pasal 263 tentang pemalsuan dokumen, hingga Pasal 378 tentang penipuan. Bahkan dalam beberapa kasus, bisa dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi apabila ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam perizinan," jelasnya.
Joni juga menyoroti lemahnya pengawasan dari pemerintah dan tidak optimalnya perlindungan
hukum terhadap petani
plasma. Ia menilai, banyak petani yang tidak memahami isi perjanjian kemitraan karena minimnya pendampingan
hukum sejak awal.
"Negara harus hadir melalui penguatan regulasi dan audit independen terhadap pelaksanaan kemitraan
plasma. Jangan sampai petani hanya dijadikan alat untuk mendapatkan HGU, sementara keuntungan utama diraup sepihak oleh perusahaan," tegasnya.
Untuk itu, Joni mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk segera merevisi kebijakan kemitraan
plasma, termasuk mempertegas sanksi bagi perusahaan yang melanggar. Ia juga mendorong masyarakat untuk lebih berani melaporkan penyimpangan dan meminta pendampingan
hukum dari LSM atau lembaga bantuan
hukum.
"Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi kejahatan yang menghancurkan masa depan ekonomi masyarakat desa. Jika dibiarkan, ini menjadi bentuk kolonialisme baru dalam kemasan investasi," tutupnya.rel