Binjai– Kota
Binjai yang dulu dikenal sebagai kota kecil yang hangat, penuh keramah-tamahan dan semangat kolektif, kini tengah diguncang krisis kepercayaan terhadap kepemimpinannya. Slogan legendaris "
Binjai Kotaku, Kotamu, dan Kota Kita Semua" yang dulu menjadi perekat identitas warga, kini terasa hampa dan kehilangan makna.
Dalam perbincangan hangat di tengah masyarakat, muncul satu suara yang mewakili kegelisahan publik. Adalah H. Syahrir Nasution, tokoh masyarakat
Binjai yang dikenal kritis dan vokal, menyuarakan kekecewaannya terhadap kondisi kota pasca dilantiknya Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang baru.
> "
Binjai sekarang gelap. Bukan hanya karena lampunya, tapi karena hilangnya arah dan semangat kepemimpinan. Tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan. Padahal kota ini punya potensi besar," ujar Syahrir saat ditemui di kediamannya di kawasan
Binjai Barat.
Menurut Syahrir, sejak pergantian kepemimpinan, banyak nilai-nilai luhur yang seharusnya dijaga justru ditinggalkan. Ia menilai pemimpin sekarang lebih mengedepankan ego, bahkan dendam masa lalu, dibanding kepentingan rakyat.
Gagal Menjawab Harapan
Di awal masa kampanye, pasangan Wali Kota dan Wakilnya sempat menjanjikan visi besar: membangun masyarakat yang maju, berbudaya dan religius. Visi ini bahkan diiringi jargon spiritual "SPIRIT atau TONDI" yang menggugah masyarakat Mandailing dan Melayu yang sudah lama bermukim di
Binjai. Namun kini, semua itu tinggal kenangan.
Alih-alih membawa perubahan,
Binjai justru terperosok ke dalam sejumlah masalah akut:
1. Status Kota Kecil yang Stagnan
Tidak ada terobosan berarti untuk mendorong pertumbuhan skala kota.
Binjai masih jalan di tempat.
2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tidak Capai Target
Pendapatan yang menjadi indikator kinerja fiskal daerah tak pernah memenuhi ekspektasi. Ini menandakan lemahnya inovasi dalam menggali potensi daerah.
3. Defisit dan Utang Daerah
Beban fiskal makin berat. Pemerintah kota terjebak dalam pola pengeluaran yang tidak seimbang dengan pemasukan. Ditambah lagi, utang yang membengkak menambah tekanan anggaran.
4. Insentif Fiskal yang Tidak Jelas
Transparansi dalam pengelolaan insentif fiskal menjadi pertanyaan. Masyarakat dan pengamat keuangan publik menilai pengelolaan APBD kurang akuntabel.
5. Minimnya Penciptaan Lapangan Kerja
Di tengah gelombang pengangguran pasca-pandemi, tidak ada program konkret yang mampu membuka lapangan kerja baru. Pemuda dan lulusan baru banyak yang memilih merantau keluar daerah.
6. Ketua DPRD Belum Ada
Ironisnya, hingga kini
Binjai belum memiliki Ketua DPRD definitif. Situasi ini membuat proses legislasi dan pengawasan terhadap eksekutif berjalan pincang. Menurut pengamat,
Binjai mungkin satu-satunya kota di Indonesia yang mengalami kekosongan seperti ini.
Warga Merindukan
Binjai yang Dulu
Suasana pesimistis mulai menyelimuti warga. Banyak yang merasa rindu akan suasana
Binjai yang dulu: kota kecil yang hangat, penuh semangat gotong royong, dan harmonis.
> "Dulu kita kalau ke pasar ketemu Wali Kota bisa ngobrol. Sekarang jangankan ngobrol, wajahnya pun sulit kita lihat. Pemerintah makin jauh dari rakyat," ujar Pak Umar, pedagang sayur di Pasar Tavip.
Keresahan ini juga dirasakan kalangan muda. Anak-anak muda kreatif yang dulu aktif mengisi ruang seni dan budaya kini kehilangan wadah. Banyak komunitas mulai vakum karena minim dukungan dari pemerintah.
Harapan Masih Ada, Tapi...
Kondisi ini memunculkan pertanyaan penting: mau dibawa ke mana kota ini?
Apakah
Binjai akan dibiarkan tenggelam dalam kegelapan? Atau masih ada nyala
harapan untuk bangkit?
Syahrir Nasution menekankan pentingnya kepemimpinan yang profesional, terbuka, dan memiliki hati untuk rakyat.
> "Pemimpin itu bukan cuma soal jabatan. Harus punya hati, punya visi, dan bisa merangkul. Kalau yang dipikirkan cuma balas dendam politik, habislah kita," tegasnya.
Ia berharap para pemimpin daerah bisa membuka mata dan telinga terhadap kritik masyarakat, bukan justru memusuhi suara-suara yang berbeda.
Binjai hari ini memang sedang gelap—bukan karena listrik padam, tetapi karena arah yang tak jelas, prestasi yang mandek, dan kepemimpinan yang kehilangan ruh. Namun seperti malam yang selalu berakhir dengan fajar, kota ini masih mungkin bangkit—asalkan ada kemauan dari para pemimpinnya untuk berubah.
Rakyat masih menanti:
Kapan cahaya itu kembali menerangi
Binjai?