Oleh: H Syahrir Nasution
Mandailing bukan sekadar nama daerah atau sebutan geografis di selatan Tapanuli. Ia adalah identitas, marwah, dan peradaban yang tumbuh dari akar sejarah panjang — jauh sebelum republik ini berdiri dan jauh sebelum kolonialisme menancapkan kuku kekuasaan di tanah Sumatera.Kata
Mandailing sendiri bukan hanya menunjuk wilayah, tetapi mencerminkan eksistensi suku atau clan dengan struktur sosial, adat, dan sistem pemerintahan yang mandiri. Dalam sejarahnya, suku
Mandailing memiliki pola pemerintahan yang bercorak kesultanan, yang menjadi pusat nilai-nilai politik, ekonomi, dan budaya masyarakat di wilayah tersebut. Kesultanan
Mandailing menjadi simbol kedaulatan lokal — di mana raja bukan sekadar penguasa, tetapi juga penjaga moral dan adat.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa Belanda sudah mengakui keberadaan suku atau puak
Mandailing sejak tahun 1925. Bahkan dalam arsip Hindia Belanda dan catatan masa VOC, nama
Mandailing telah muncul sebagai entitas sosial yang memiliki sistem pemerintahan sendiri, berbeda dari Batak Toba atau Angkola. Ini membuktikan bahwa
Mandailing bukan sub-etnis, melainkan suku dengan akar historis yang jelas dan kedaulatan budayanya tersendiri.Dalam hikayat lama, disebut bahwa para raja dan datu
Mandailing menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan tetangga, termasuk Kesultanan Siak, Padang Lawas, dan bahkan beberapa kerajaan di pesisir barat. Struktur adatnya pun kaya — terdiri dari sistem marga, harajaon, dan dalihan na tolu yang menjaga keseimbangan sosial masyarakatnya.Namun dalam arus modernisasi dan penyatuan administratif kolonial, identitas kesultanan dan kedaulatan adat
Mandailing perlahan dihapus dari peta kekuasaan. Kolonial Belanda lebih memilih menggabungkan
Mandailing ke dalam satuan Afdeeling Tapanuli, sehingga jejak kesultanan itu hanya tersisa dalam kisah lisan dan manuskrip lama.Kini, saat bangsa ini berbicara tentang akar budaya dan pluralisme, penting untuk kembali menggali marwah
Mandailing sebagai entitas bersejarah yang memiliki sistem nilai dan pemerintahan sendiri. Mengingat dan meneguhkan kembali sejarah kesultanan
Mandailing bukan berarti nostalgia semata, tetapi upaya mengembalikan kesadaran akan jati diri dan martabat budaya.
Baca Juga:
Sebab bangsa yang kehilangan akar sejarahnya, akan mudah kehilangan arah masa depannya.Dan
Mandailing — dengan segala keunikan budaya, bahasa, adat, dan hikmahnya — telah memberi pelajaran: bahwa kedaulatan sejati lahir dari kesadaran akan jati diri, bukan dari pengakuan kekuasaan luar.
Mandailing adalah suku berdaulat, dengan sejarah yang hidup di nadi setiap marganya.***