Oleh: H Syahrir Nasution SE MMHari ini, di jagad Nusantara Indonesia, kita kembali memperingati Hari Sumpah Pemuda, tonggak
sejarah yang menandai kesadaran kolektif generasi muda tentang arti kebangsaan dan kemerdekaan sejati. Namun, di balik gema peringatan itu, terselip satu pertanyaan mendasar: Apakah semangat pemuda masa kini masih sejalan dengan api perjuangan para pemuda 1928?Ungkapan "No one can't escape history" — tidak ada seorang pun yang dapat lari
dari sejarah — seharusnya menjadi cermin bagi kita semua. Sebab,
sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan panggilan nurani bagi generasi penerus untuk melanjutkan perjuangan dengan kesadaran moral dan tanggung jawab kebangsaan.Pemuda: Prime Mover Kemerdekaan
Kita tidak boleh melupakan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak lahir
dari meja perundingan semata, melainkan
dari gelora dan keberanian para pemuda yang bergerak di bawah tanah, menembus gelapnya penjajahan, bahkan mempertaruhkan nyawa. Mereka membentuk jaringan rahasia, menyiarkan kabar perjuangan lewat "radio bawah tanah" yang dipimpin oleh Bung Sutan Sjahrir dan kawan-kawan — generasi intelektual muda yang menjadi prime mover kemerdekaan bangsa.Di sisi lain, di medan tempur, darah dan air mata para pejuang bercampur dengan lumpur perjuangan. Mereka tak menuntut imbalan, tak meminta penghargaan. Perjuangan tanpa pamrih, dengan jiwa yang ikhlas dan tulus demi bangsa dan negara, itulah napas
dari generasi yang melahirkan Indonesia merdeka.Pemuda Kini: Antara Idealisme dan Kemewahan DuniawiNamun, kini
sejarah seakan berbalik arah. Mereka yang mengaku "wakil rakyat", nyatanya justru menikmati kenyamanan
dari penderitaan rakyat. Di balik kata-kata manis tentang kesejahteraan, tersembunyi kepentingan pribadi dan kelompok. Banyak di antara mereka terbuai oleh nafsu dunia, membela pengkhianat rakyat, dan melupakan amanat konstitusi.
Baca Juga:
Lihatlah, ketika muncul sosok-sosok muda seperti Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang mencoba bersuara untuk rakyat, justru diserang dan diasingkan oleh lingkar kekuasaan yang sudah terlalu lama menikmati "uang haram"
dari rezim ke rezim.Seolah-olah negeri ini telah kehilangan arah moralnya — negeri yang dulu diperjuangkan oleh para Founding Fathers dengan darah dan air mata, kini dikuasai oleh mereka yang hanya tahu cara menikmati hasil perjuangan itu tanpa mau melanjutkan semangatnya.Ironisnya, saat bangsa ini berusaha berdiri di atas kaki sendiri, muncul pula pengaruh asing dan aseng yang seolah-olah turut merasa berhak atas negeri zamrud khatulistiwa ini — seakan mereka pun bagian
dari sejarah perjuangan yang sejatinya mereka tidak pernah jalani.Pertanyaan untuk Pemuda Hari Ini
Kini, semua kembali pada generasi muda — generasi penerus yang hidup di tengah derasnya arus digital, politik uang, dan krisis moral. Apakah mereka akan menjadi pewaris
sejarah atau sekadar penonton yang lupa pada akar perjuangan bangsanya?Kita berada di titik nadir
sejarah bangsa, di mana idealisme mulai terkikis, dan kepentingan pribadi menenggelamkan cita-cita bersama.Maka, pertanyaan besar itu harus kita jawab bersama:> Mau dibawa ke mana anak negeri dan negara ini?
Baca Juga:
Sejarah menunggu jawabannya. Dan yakinlah, seperti pesan abadi itu:> "No one can't escape history — Tidak ada seorang pun yang dapat lari
dari sejarah."
Karena pada akhirnya,
sejarah akan mencatat, siapa yang berjuang untuk bangsa, dan siapa yang hanya berpura-pura menjadi bagian
darinya.***