Administrator
Sabtu, 18 Oktober 2025 14:05 WIB
Istimewa
Baca Juga:Fenomena ini juga berbeda jauh dari praktik relawan di negara-negara demokrasi maju seperti Amerika Serikat. Di sana, relawan memiliki batas waktu dan mandat yang jelas: bekerja selama masa kampanye, lalu kembali ke masyarakat setelah pemilu. Mereka menjadi bagian dari sistem check and balance warga terhadap pemerintah. Di Indonesia, sebaliknya, relawan justru bisa bertransformasi menjadi kelompok kepentingan permanen yang menempel pada kekuasaan dan ikut menentukan siapa yang "layak" mendapat posisi strategis.Dalam konteks pemerintahan berikutnya, warisan pola relawan semacam ini akan menjadi beban laten. Pemerintah baru akan terus dihadapkan pada tekanan kelompok relawan lama yang merasa memiliki "saham moral" dalam kekuasaan. Ini mengaburkan prinsip meritokrasi dan profesionalisme, serta mempersulit reformasi birokrasi yang berbasis kinerja.Maka yang dibutuhkan bukan penghapusan relawan, tetapi redefinisi moral dan peran relawan dalam demokrasi modern. Relawan harus kembali ke jati dirinya sebagai warga yang terlibat dalam politik, bukan sebagai kelompok yang mencari rente dari politik. Mereka seharusnya menjadi pengawas moral kekuasaan, bukan bayangan kekuasaan itu sendiri.Bangsa yang sehat bukan hanya membutuhkan pemimpin yang kuat, tetapi juga rakyat yang berani menjaga jarak dari godaan kekuasaan. Dan di situlah ujian terbesar para relawan sejati—apakah mereka masih sanggup menjadi suara nurani rakyat, atau telah berubah menjadi penguasa bayangan yang lupa pada cita-cita awal perjuangannya.