Medan —
Banjir besar yang melumpuhkan sejumlah wilayah di Sumatera dinilai bukan sekadar akibat curah hujan ekstrem, melainkan akumulasi panjang dari kesalahan pemerintah mengelola ruang hidup rakyat. Pengamat kebijakan publik dan lingkungan, Shohibul Anshor Siregar, menegaskan bahwa bencana ini "tidak bisa lagi ditutupi dengan narasi
alam". Ia menyebut banjir sebagai bukti paling telanjang dari kegagalan negara mengatur izin, tata ruang, dan eksploitasi kawasan hulu.D
alam wawancara yang digelar Kemarin. Siregar mengatakan bahwa pemerintah harus menghentikan kebiasaan menyalahkan cuaca atau fenomena global.
"Kalimat-kalimat seperti cuaca ekstrem, force majeure, atau curah hujan di luar normal itu tidak bisa lagi dipakai sebagai tameng," ujarnya. "Apa yang terjadi di Sumatera adalah bencana kebijakan. Ia lahir dari kesalahan sistemik: hutan dibabat, gambut dikeringkan, dan tata ruang dijadikan komoditas politik."Negara terkean tidak jujur pada akar persoalanMenurut Siregar, akar masalah banjir Sumatera sudah sangat jelas: kerusakan DAS, konsesi industri ekstraktif yang tidak terkendali, dan lemahnya pengawasan.
Baca Juga:
Namun, pemerintah selama ini, baik pusat maupun daerah, lebih memilih langkah-langkah simbolik ketimbang menyentuh akar persoalan."
Banjir ini adalah tanda bahwa negara tidak berani jujur pada kesalahan sendiri," katanya. "Hulu pegunungan di banyak wilayah Sumatera sudah gundul akibat izin-izin yang dikeluarkan tanpa kajian ekologis yang benar. Sungai-sungai kehilangan daerah resapan. Rawa gambut dikeringkan untuk perkebunan.
Lalu ketika banjir datang, warga disuruh sabar. Sabar itu bukan kebijakan publik."Moratorium konsesi dan audit lingkunganSiregar menilai langkah paling mendesak yang harus dilakukan pemerintah adalah moratorium total terhadap pembukaan hutan baru dan audit menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan besar di hulu DAS."Kita tidak bisa berharap banjir mereda kalau hulunya terus dibantai," tegasnya.
Baca Juga:
Ia menambahkan bahwa audit independen harus melibatkan akademisi, lembaga anti-korupsi, masyarakat adat, dan lembaga internasional agar tidak bias politik atau ekonomi."Terlalu banyak perusahaan besar yang menikmati rente dari kerusakan lingkungan di Sumatera. Negara harus berhenti melindungi mereka."Kritik keras terhadap pola dropping bantuanSiregar juga menyoroti pola penanganan darurat yang dinilainya tidak efektif. Ia menyebut praktik dropping bantuan dari udara atau pembagian logistik tanpa mekanisme yang jelas sebagai bentuk "manajemen bencana yang keliru dan penuh pencitraan".
"Bantuan itu bukan untuk dipertontonkan," ujar Siregar. "Harus ada pemetaan kebutuhan, koordinasi komando, dan penyaluran yang berbasis data lapangan. Kalau pemerintah hanya sibuk dengan gestur politik, korban banjir tetaplah korban."Pemerintah harus berani memutus rantai kerusakanD
alam penutupnya, Siregar menekankan bahwa Sumatera membutuhkan perubahan kebijakan jangka panjang, bukan pernyataan belas kasih tahunan. Ia mendesak pemerintah untuk memimpin restorasi hutan dan gambut, memperbaiki tata ruang, dan menegakkan hukum tanpa kompromi.
"Selama negara tidak berani mencabut izin-izin yang merusak, selama itu pula bencana akan datang kembali," kata Siregar. "Ini bukan sekadar soal air menggenang. Ini adalah pertarungan antara keberpihakan pemerintah pada rakyat atau pada kepentingan elite yang menikmati keuntungan dari kerusakan lingkungan."