Oleh: H. Syahrir Nasution, SE., MMManaging Director – PECI Indonesia (Political & Economic Consulting Institute)
Mendengar kata
Bea dan Cukai, ingatan kita seolah dibawa kembali pada kisah kelam masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, para orang tua kita menyaksikan dan merasakan langsung bagaimana penjajah menerapkan penarikan bea dan
cukai atas barang-barang yang keluar dan masuk ke wilayah Nusantara. Sikap para pelaksana pungutan di masa kolonial tersebut dikenal keras bahkan kejam—namun mereka masih memiliki sedikit ruang nurani dalam bertindak.Ironisnya, kondisi berbeda justru muncul di era kemerdekaan hari ini. Pelaksanaan pungutan oleh Aparat
Bea dan Cukai memang tampak lebih halus dan sopan secara lahiriah, namun sering kali tidak disertai hati nurani. Banyak tindakan seolah dilakukan tanpa memikirkan konsekuensi hidup setelah mati, sehingga berbagai pelanggaran terhadap aturan, undang-undang, dan konstitusi terus terjadi. Pertanyaan besar yang muncul adalah: Apakah seluruh penerimaan
Bea dan Cukai benar-benar masuk ke kas negara? Atau justru ada "pintu belakang" yang sengaja diciptakan untuk mengalirkan manfaat ke kantong-kantong para oknum pelaksana?Kondisi inilah yang membuat langkah berani Menkeu yang baru, Dr. Purbaya Yudi Sadewa, menjadi angin segar bagi rakyat. Gebrakan yang dilakukan di seluruh Kementerian Keuangan, terutama di Ditjen Pajak dan Ditjen
Bea Cukai, merupakan sebuah shock therapy yang penting dan mendesak. Langkah tegas itu mencerminkan komitmen untuk mewujudkan pemerintahan yang jujur, adil, dan berpihak kepada rakyat Indonesia—sejalan dengan cita-cita para pendiri bangsa kita seperti Bung Hatta, Bung Syahrir, dan para pejuang Republik yang bekerja tanpa pamrih.Masyarakat Indonesia menaruh harapan besar kepada Menkeu Purbaya agar tidak surut langkahnya. Keberanian untuk mengatakan yang benar, menegakkan keadilan, serta menyingkap praktik kotor yang telah berlangsung lama menjadi fondasi untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia—seperti yang diamanahkan dalam konstitusi kita. Harapan itu bukan hanya sekadar keinginan, tetapi kerinduan seluruh anak bangsa demi terwujudnya Indonesia yang gemah ripah loh jinawi dengan ridho Allah SWT.
Baca Juga:
Namun, gebrakan awal tentu tidak cukup. Rakyat menunggu konsistensi, ketegasan, dan kelanjutan tindakan reformasi ini hingga akhir masa tugas Menkeu Purbaya. Jangan sampai semangat itu hanya "panas di awal", tetapi harus tetap menyala hingga seluruh struktur rusak dan budaya buruk di tubuh
Bea dan Cukai benar-benar dibongkar dan dibersihkan.Dalam konteks inilah istilah "revolusi" perlu dipahami secara positif. Revolusi yang dimaksud bukanlah tindakan destruktif, melainkan gerakan untuk merombak total kebiasaan bobrok yang selama ini dilakukan oleh aparat
Bea dan Cukai. Revolusi moral, revolusi integritas, dan revolusi tata kelola. Reformasi ini tidak hanya menyasar pejabat aktif, tetapi juga para mantan aparat
Bea dan Cukai yang sudah pensiun agar turut bermuhasabah:"Pantaskah aku menjadi panutan rakyat?"Semoga gerakan perubahan ini benar-benar terjadi, dan semoga seluruh aparatur negara kembali bekerja dengan hati nurani demi bangsa dan negara. Amin.