Sabtu, 08 November 2025

Mengekspor Kekayaan, Mengimpor Kemiskinan — Paradoks yang Tak Pernah Usai

Administrator
Minggu, 02 November 2025 09:41 WIB
Mengekspor Kekayaan, Mengimpor Kemiskinan — Paradoks yang Tak Pernah Usai
Istimewa
Oleh: H. Syahrir Nasution

Ada ironi besar yang terus menghantui perjalanan bangsa ini: Indonesia dikenal sebagai negeri kaya raya, namun rakyatnya tetap miskin. Dari Sabang sampai Merauke, sumber daya alam terhampar luas — hutan, tambang, laut, dan tanah subur. Tetapi di balik kemegahan itu, jutaan rakyat masih berjuang sekadar untuk hidup layak. Mengapa ini terjadi? Jawabannya sederhana namun menyakitkan: kita mengekspor kekayaan, tetapi mengimpor kemiskinan.

Fenomena ini bukan sekadar kiasan. Ia adalah realitas yang menampar kesadaran kolektif bangsa. Kekayaan alam kita — batu bara, minyak, gas, nikel, dan hasil bumi lainnya — mengalir ke luar negeri, diekspor dengan harga murah. Namun, ketika kembali ke negeri sendiri dalam bentuk barang olahan atau produk industri, nilainya berlipat-lipat. Sementara rakyat di sekitar sumber kekayaan itu tetap hidup dalam keterbatasan, menatap dengan getir hasil bumi yang tak pernah mereka nikmati.

Inilah yang dulu diulas Prabowo Subianto dalam bukunya "Paradox Indonesia". Sebuah refleksi tajam tentang ketimpangan struktural: negara kaya sumber daya, tetapi miskin nilai tambah. Setelah ditelaah secara seksama, terbukti bahwa persoalan utama bukan pada kurangnya sumber daya, melainkan pada sistem pengelolaan dan mentalitas ekonomi kolonial yang masih bercokol hingga kini.

Rakyat di pedesaan dan pinggiran kota semakin terjepit. Harga kebutuhan pokok naik, sementara lapangan pekerjaan menyempit. Istilah "Empat Sehat Lima Sempurna" kini hanya menjadi nostalgia. Yang tersisa justru kondisi miris: "Empat Tak Sehat Lima Tak Dapat Berutang." Ironi ini menggambarkan betapa beratnya beban hidup rakyat kecil yang bahkan untuk sekadar makan bergizi pun menjadi kemewahan.

Paradoks ini harus segera diputus. Pemerintah harus berani menata ulang arah pembangunan nasional — bukan hanya berorientasi pada ekspor bahan mentah, tapi mendorong hilirisasi, kemandirian ekonomi, dan pemerataan hasil pembangunan. Pendidikan harus menumbuhkan kesadaran produktif, bukan sekadar menjadi alat mencari pekerjaan. Dan yang paling penting, moralitas pengelola negara harus dikembalikan pada semangat pengabdian, bukan penghisapan.

Indonesia tidak kekurangan kekayaan. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk mengelolanya dengan benar dan keadilan untuk membaginya dengan merata. Jika tidak, kita akan terus menjadi bangsa yang "mengekspor kekayaan dan mengimpor kemiskinan" — sebuah paradoks yang semakin menyakitkan dari generasi ke generasi.

Baca Juga:
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Administrator
Sumber
:
SHARE:
Tags
Berita Terkait
Paradox Kekayaan dan Kemiskinan

Paradox Kekayaan dan Kemiskinan

Percepat Penanganan Kemiskinan, Pj Gubernur Agus Fatoni Luncurkan Gerakan Kesetiakawanan Sosial Serentak se-Sumut

Percepat Penanganan Kemiskinan, Pj Gubernur Agus Fatoni Luncurkan Gerakan Kesetiakawanan Sosial Serentak se-Sumut

Komentar
Berita Terbaru