Oleh : Leriadi, S. SosMahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UNAS Jakarta*Dalam setiap kontestasi politik, relawan hadir sebagai bentuk partisipasi rakyat. Mereka membawa semangat sukarela, gotong royong, dan keyakinan akan cita-cita calon pemimpin yang mereka dukung. Namun, dalam praktik politik kita, semangat luhur itu perlahan bergeser.
Relawan yang semula menjadi jembatan antara rakyat dan pemimpin kini berubah menjadi kekuatan politik tersendiri—bahkan menjadi
penguasa bayangan yang tak memiliki tanggung jawab publik, namun memengaruhi arah kekuasaan.*
Fenomena ini muncul bukan karena sistem yang melegitimasi, melainkan karena celah moral dan institusional dalam demokrasi kita. Setelah pemilu usai, sebagian relawan tidak kembali ke masyarakat untuk mengawal kebijakan publik, melainkan membentuk jejaring kekuasaan informal. Mereka menjadi makelar pengaruh, perantara proyek, bahkan penentu siapa yang "dekat" atau "jauh" dari lingkar kekuasaan.Istilah "relawan siluman" lahir dari gejala inilah—yakni keberadaan kelompok yang tidak lagi bekerja secara terbuka di ruang publik, tetapi beroperasi di balik layar, membawa nama besar pemimpin yang mereka dukung. Mereka tidak memiliki legitimasi hukum, namun seringkali justru memiliki daya tekan lebih kuat daripada partai politik atau pejabat resmi.Di sinilah letak bahayanya: ketika kekuasaan informal ini beroperasi tanpa transparansi dan tanpa akuntabilitas publik, maka ia akan menciptakan disfungsi demokrasi. Rakyat kehilangan saluran aspirasi yang murni, sementara pemimpin kehilangan jarak objektifnya terhadap realitas sosial.Kekuasaan yang sehat membutuhkan sistem kontrol yang jelas.
Relawan bukan bagian dari birokrasi negara, dan seharusnya tidak berperan sebagai penentu kebijakan, pengatur akses proyek, atau penafsir tunggal kehendak pemimpin. Ketika fungsi itu mereka ambil, maka terjadi pergeseran fatal: demokrasi bergeser dari sistem partisipatif menjadi sistem patrimonial, di mana kesetiaan personal lebih dihargai daripada kompetensi dan integritas.
Baca Juga:
Fenomena ini juga berbeda jauh dari praktik relawan di negara-negara demokrasi maju seperti Amerika Serikat. Di sana, relawan memiliki batas waktu dan mandat yang jelas: bekerja selama masa kampanye, lalu kembali ke masyarakat setelah pemilu. Mereka menjadi bagian dari sistem check and balance warga terhadap pemerintah. Di Indonesia, sebaliknya, relawan justru bisa bertransformasi menjadi kelompok kepentingan permanen yang menempel pada kekuasaan dan ikut menentukan siapa yang "layak" mendapat posisi strategis.Dalam konteks pemerintahan berikutnya, warisan pola relawan semacam ini akan menjadi beban laten. Pemerintah baru akan terus dihadapkan pada tekanan kelompok relawan lama yang merasa memiliki "saham moral" dalam kekuasaan. Ini mengaburkan prinsip meritokrasi dan profesionalisme, serta mempersulit reformasi birokrasi yang berbasis kinerja.Maka yang dibutuhkan bukan penghapusan relawan, tetapi redefinisi moral dan peran relawan dalam demokrasi modern.
Relawan harus kembali ke jati dirinya sebagai warga yang terlibat dalam politik, bukan sebagai kelompok yang mencari rente dari politik. Mereka seharusnya menjadi pengawas moral kekuasaan, bukan bayangan kekuasaan itu sendiri.Bangsa yang sehat bukan hanya membutuhkan pemimpin yang kuat, tetapi juga rakyat yang berani menjaga jarak dari godaan kekuasaan. Dan di situlah ujian terbesar para relawan sejati—apakah mereka masih sanggup menjadi suara nurani rakyat, atau telah berubah menjadi
penguasa bayangan yang lupa pada cita-cita awal perjuangannya.